Now | Jakarta - Presiden Republik Peru Dina Ercilia Boluarte Zegarra tiba di Indonesia pada Minggu sore, 10 Agustus 2025, untuk memulai rangkaian kunjungan kenegaraan.
Kunjungan itu merupakan kunjungan balasan dari lawatan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto ke Peru beberapa waktu lalu.
Kedatangan Boluarte ke Indonesia dibayangi masalah internal negaranya terkait pengesahan rancangan undang-undang (RUU) baru terkait amnesti kepada tentara dan polisi yang terlibat konflik internal Peru sejak 1985 hingga 2000.
Sejak disahkan Kongres Peru pada Juli lalu, RUU amnesti tersebut masih menunggu persetujuan Boluarte. Ia dapat menandatanganinya menjadi undang-undang, membiarkannya berlaku secara otomatis, atau mengirimkannya kembali ke kongres untuk direvisi.
Namun, RUU tersebut telah memicu kecaman internasional karena dianggap melindungi militer dan polisi dari pertanggungjawaban atas kekejaman yang terjadi selama konflik adat di Peru.
Undang-undang ini juga akan menawarkan amnesti "kemanusiaan" kepada pelaku berusia di atas 70 tahun yang telah dihukum karena kejahatan masa perang.
Sekira 70 ribu orang terbunuh dalam konflik tersebut, sebagian besar warga pedesaan dan masyarakat adat.
Tentara dan polisi seolah-olah ditugaskan untuk memerangi pemberontakan bersenjata dari kelompok Shining Path dan Gerakan Revolusioner Tupac Amaru. Namun, mereka malah membantai warga sipil yang tidak terkait dengan kelompok pemberontak mana pun.
Rencana pengesahan RUU amnesti itu diprotes Pengadilan Hak Asasi Manusia Inter-Amerika (IACHR) yang berkantor di Amerika Serikat. IACHR yang merupakan bagian dari Organisasi Negara-Negara Amerika (OAS) meminta RUU ditangguhkan.
Presiden IACHR Nancy Hernandez Lopez pada 24 Juli 2025 memerintahkan Peru segera menangguhkan pemrosesan RUU. Ia menyebut RUU ini melanggar putusan sebelumnya yang menentang undang-undang amnesti semacam itu di Peru.
"Jika tidak ditangguhkan, maka otoritas yang berwenang akan menahan diri untuk tidak menegakkan hukum ini," ujarnya dilansir Al Jazeera.
IACHR juga menyatakan usia bukanlah faktor diskualifikasi bagi tersangka yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia berat. Pengecualian semacam itu, kata mereka, hanya dapat diterima berdasarkan hukum internasional untuk pelanggaran lebih ringan atau tanpa kekerasan.
Namun, Boluarte mengecam protes itu dan menyebut pengadilan internasional tersebut telah melampaui kewenangannya.
"Kami bukan koloni siapa pun," ujar di cuplikan pidato yang diunggahnya ke media sosial pada Kamis pekan lalu.
"Dan kami tidak akan membiarkan intervensi Pengadilan Inter-Amerika yang bermaksud menangguhkan rancangan undang-undang yang memperjuangkan keadilan bagi anggota angkatan bersenjata kami, kepolisian nasional kami, dan komite-komite pembelaan diri yang telah berjuang, mempertaruhkan nyawa mereka, melawan kegilaan terorisme."
Boluarte juga berusaha membingkai tindakan pengesahan RUU itu sesuai dengan standar hak asasi manusia internasional.
"Kami adalah pembela hak asasi manusia dan warga negara," tulisnya sembari menekankan bahwa pemerintahannya bebas, berdaulat, dan otonom, yang tampaknya merupakan sindiran terhadap keputusan IACHR.
Di sisi lain, Koordinator Hak Asasi Manusia Nasional di Peru memperkirakan undang-undang amnesti tersebut bisa membatalkan 156 hukuman dan mengganggu lebih dari 600 penyelidikan yang sedang berlangsung.
Undang-undang amnesti sebelumnya yang diterapkan pada 1995 di bawah Presiden Alberto Fujimori telah dicabut.*